Selasa, 08 Oktober 2013

Perbedaan Antara Konvensi Wina 1969 dengan UU No. 24 Tahun 2000


Antara Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai segi. Berikut adalah perbedaan-perbedaan antara kedua aturan hukum tersebut.
A.    Dari Segi Ketentuan Yang Tercakup di Dalamnya Secara Umum
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi wina lebih mengacu pada ketentuan teknis tentang pelaksanaan perjanjian secara umum yang dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia. Ketentuan tersebut hanya mengatur secara umum tentang bagaimana melaksanakan suatu perjanjian internasional. Dalam konvensi wina tersebut, hanya ditentukan bagaimana suatu subjek hukum internasional melakukan perjanjian namun tidak dijelaskan secara lebih mendetail tentang bagaimana cara-cara pelaksanaannya. Karena cakupannya yang luas dan mengatur tentang perjanjian semua negara maka dalam Konvensi Wina tersebut kepada negara-negara yang akan meratifikasinya diberikan kebebasan untuk mengubah konvensi tersebut sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat negara tersebut selama pengubahan tersebut tidak bertentangan dengan maksud awal dari konvensi tersebut.
Dalam undang-Undang No. 24 Tahun 2000 ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalamnya lebih spesifik mengenai bagaimana cara-cara melaksanakan suatu perjanjian internasional. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 mengatur berbagai hal diantaranya :
·         Pembuatan perjanjian internasional
·         Pengesahan perjanjian internasional
·         Pemberlakuan perjanjian internasional
·         Penyimpanan perjanjian internasional
·         Pengakhiran perjanjian internasional
·         Serta ketentuan peralihan dan penutup
Semua isi dari ketentuan tersebut kemudian dijabarkan dalam 22 Pasal yang kemudian disetujui dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid.
B.     Dari Segi Wakil Negara Yang Melakukan Pengesahan Perjanjian.
Sesuai dengan aturan yang terdapat dalam konvensi wina pasal 7, seseorang yang dianggap mewakili negara dalam suatu perjanjian memerlukan surat kuasa yang dikeluarkan oleh negara yang bersangkutan. Surat kuasa dan surat kepercayaan tersebut muncul dari praktek negara-negara untuk memberikan kuasa kepada seseorang sebagai wakil dari negara yang mengeluarkan surat kuasa tersebut. Surat kuasa (Full Powers) berdasarkan konvensi wina adalah “A document emanating from the competent authority of a State designating a person or persons to represent the State for negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty, for expressing the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty.” Dalam konvensi ini tidak dikenal adanya surat kepercayaan (Credentials) seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7 Konvensi Wina 1969, terdapat beberapa orang yang dianggap sebagai wakil dari negara dan tidak memerlukan surat kuasa (Full Powers) untuk melakukan suatu perjanjian diantaranya adalah :
·         Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty;
·         Heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a treaty between the accrediting State and the State to which they are accredited;
·         Representatives accredited by States to an international conference or to an international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text of a treaty in that conference, organization or organ.  
Jika dibandingkan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000  pasal 7 seseoarang yang mewakili pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional, memerlukan surat kuasa. Dalam Undang-Undang ini, dikenal adanya surat kepercayaan yang digunakan oleh satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu perjanjian internasional memerlukan surat kepercayaan. Surat kuasa (Full Powers) yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.” Sedangkan surat kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional.
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) terdapat 2 pejabat negara yang tidak memerlukan surat kuasa (Full Powers) dalam melaksanakan suatu perjanjian diantaranya adalah :
·         Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan.
·         Menteri luar negeri.

C.     Penyimpanan Perjanjian Internasional
Dalam Konvensi wina 1969 tidak dijelaskan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan penyimpanan teks asli perjanjian, negara-negara yang melakukan perjanjian hanya diwajibkan untuk melakukan notifikasi dan meregistrasi salinan naskah resmi perjanjian internasional yang telah dibuat kepada sekretatiat organisasi internasional. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, dijelaskan secara terinci bahwa Menteri bertanggung jawab secara penuh untuk menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional yang telah dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia serta menyusun daftar resmi dan menerbitkannya dalam himpunan perjanjian internasional.
Diantara perbedaan tersebut terdapat beberapa kesamaan diantara keduanya. Hal itu disebabkan Konvensi Wina 1969 merupakan induk dari semua peraturan perjanjian internasional yang ada. Di antaranya adalah :
A.    Suatu negara dinyatakan telah melakukan pengesahan terhadap perjanjian internasional apabila telah melakukan Ratifikasi, Aksesi, Penerimaan, dan Penyetujuan sesuai dengan pasal 1 huruf b UU No. 24 Tahun 2000 yang berbunyi Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). dan pasal 2 huruf b Konvensi Wina 1969 yang berbunyi “ratification”, “acceptance”, “approval” and “accession” mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty.”
B.     Adanya suksesi terhadap suatu negara tidak mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian selama negara pengganti tetap menyetujui untuk meneruskan perjanjian tersebut. Ketentuan tentang hal tersebut terdapat pada pasal 73 Konvensi Wina 1969 yang berbunyi The provisions of the present Convention shall not prejudge any question that may arise in regard to a treaty from a succession of States or from the international responsibility of a State or from the outbreak of hostilities between States. dan pada pasal 20 UU No. 24 tahun 2000 yang berbunyi Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama Negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.
    sumber

Senin, 08 April 2013

Kegunaan Hukum Adat dari segi Teoritis dan Praktisinya



  1.    Manfaat dari sisi teoritis ialah ketika hukum Adat dilihat sebagai ilmu pengetahuan. Manfaat hukum Adat sebagai ilmu adalah berkaitan dengan pendidikan dan penelitian. Manfaat hukum Adat sebagai ilmu pengetahuan, untuk memuaskan keingintahuan mengenai hukum Adat itu apa, bagaimana terbentuknya, untuk siapa hukum Adat itu, dan bagaimana perkembangannya. Hukum Adat mengenai manfaatnya dari sisi teoritis yaitu hanyalah sebagai ilmu yang dapat dipelajari saja, dan belum ada aplikasinya kepada masyarakat. Kemudian, dari sisi praktiknya, kemanfaatan dari mempelajari hukum Adat yaitu ketika hukum Adat itu di menyelesaikan dan menjelaskan masalah – masalah yang terjadi dalam masyarakat, sehingga tujuan dari ilmu untuk masyarakt dapat tercapai.
  2.  Manfaat hukum Adat dari sisi praktisnya ketika ditinjau dari praktek kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hukum Adat dapat memupuk cirri khas, atau keperibadian bangsa yang memberikan identitas yang berbeda dengan bangsa atau Negara lainnya, karena hukum Adat adalam penserminan dari keperibadian bangsa.