Perbedaan Antara Konvensi Wina 1969 dengan UU No. 24 Tahun 2000
Antara
Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 terdapat
beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut dapat dilihat
dari berbagai segi. Berikut adalah perbedaan-perbedaan antara kedua
aturan hukum tersebut.
A. Dari Segi Ketentuan Yang Tercakup di Dalamnya Secara Umum
Ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam konvensi wina lebih mengacu pada ketentuan teknis
tentang pelaksanaan perjanjian secara umum yang dilakukan oleh
negara-negara di seluruh dunia. Ketentuan tersebut hanya mengatur secara
umum tentang bagaimana melaksanakan suatu perjanjian internasional.
Dalam konvensi wina tersebut, hanya ditentukan bagaimana suatu subjek
hukum internasional melakukan perjanjian namun tidak dijelaskan secara
lebih mendetail tentang bagaimana cara-cara pelaksanaannya. Karena
cakupannya yang luas dan mengatur tentang perjanjian semua negara maka
dalam Konvensi Wina tersebut kepada negara-negara yang akan
meratifikasinya diberikan kebebasan untuk mengubah konvensi tersebut
sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat negara tersebut
selama pengubahan tersebut tidak bertentangan dengan maksud awal dari
konvensi tersebut.
Dalam
undang-Undang No. 24 Tahun 2000 ketentuan-ketentuan yang tercakup di
dalamnya lebih spesifik mengenai bagaimana cara-cara melaksanakan suatu
perjanjian internasional. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 mengatur
berbagai hal diantaranya :
· Pembuatan perjanjian internasional
· Pengesahan perjanjian internasional
· Pemberlakuan perjanjian internasional
· Penyimpanan perjanjian internasional
· Pengakhiran perjanjian internasional
· Serta ketentuan peralihan dan penutup
Semua
isi dari ketentuan tersebut kemudian dijabarkan dalam 22 Pasal yang
kemudian disetujui dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia
Abdurrahman Wahid.
B. Dari Segi Wakil Negara Yang Melakukan Pengesahan Perjanjian.
Sesuai
dengan aturan yang terdapat dalam konvensi wina pasal 7, seseorang yang
dianggap mewakili negara dalam suatu perjanjian memerlukan surat kuasa
yang dikeluarkan oleh negara yang bersangkutan. Surat kuasa dan surat
kepercayaan tersebut muncul dari praktek negara-negara untuk memberikan
kuasa kepada seseorang sebagai wakil dari negara yang mengeluarkan surat
kuasa tersebut. Surat kuasa (Full Powers) berdasarkan konvensi wina adalah “A document
emanating from the competent authority of a State designating a person
or persons to represent the State for negotiating, adopting or
authenticating the text of a treaty, for expressing the consent of the
State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with
respect to a treaty.” Dalam konvensi ini tidak dikenal adanya surat kepercayaan (Credentials) seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.
Sesuai
dengan ketentuan pasal 7 Konvensi Wina 1969, terdapat beberapa orang
yang dianggap sebagai wakil dari negara dan tidak memerlukan surat kuasa
(Full Powers) untuk melakukan suatu perjanjian diantaranya adalah :
· Heads
of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for
the purpose of performing all acts relating to the conclusion of a
treaty;
· Heads
of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a
treaty between the accrediting State and the State to which they are
accredited;
· Representatives
accredited by States to an international conference or to an
international organization or one of its organs, for the purpose of
adopting the text of a treaty in that conference, organization or organ.
Jika dibandingkan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 pasal
7 seseoarang yang mewakili pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan
menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan
diri pada perjanjian internasional, memerlukan surat kuasa. Dalam
Undang-Undang ini, dikenal adanya surat kepercayaan yang digunakan oleh
satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau
menerima hasil akhir suatu perjanjian internasional memerlukan surat
kepercayaan. Surat kuasa (Full Powers) yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah “surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.” Sedangkan surat kepercayaan (Credentials) adalah “surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional.”
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) terdapat 2 pejabat negara yang tidak memerlukan surat kuasa (Full Powers) dalam melaksanakan suatu perjanjian diantaranya adalah :
· Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan.
· Menteri luar negeri.
C. Penyimpanan Perjanjian Internasional
Dalam
Konvensi wina 1969 tidak dijelaskan pihak-pihak yang bertanggung jawab
untuk melakukan penyimpanan teks asli perjanjian, negara-negara yang
melakukan perjanjian hanya diwajibkan untuk melakukan notifikasi dan
meregistrasi salinan naskah resmi perjanjian internasional yang telah
dibuat kepada sekretatiat organisasi internasional. Sedangkan dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, dijelaskan secara terinci bahwa Menteri
bertanggung jawab secara penuh untuk menyimpan dan memelihara naskah
asli perjanjian internasional yang telah dibuat oleh pemerintah Republik
Indonesia serta menyusun daftar resmi dan menerbitkannya dalam himpunan
perjanjian internasional.
Diantara
perbedaan tersebut terdapat beberapa kesamaan diantara keduanya. Hal
itu disebabkan Konvensi Wina 1969 merupakan induk dari semua peraturan
perjanjian internasional yang ada. Di antaranya adalah :
A. Suatu
negara dinyatakan telah melakukan pengesahan terhadap perjanjian
internasional apabila telah melakukan Ratifikasi, Aksesi, Penerimaan,
dan Penyetujuan sesuai dengan pasal 1 huruf b UU No. 24 Tahun 2000 yang
berbunyi “Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).” dan pasal 2 huruf b Konvensi Wina 1969 yang berbunyi ““ratification”,
“acceptance”, “approval” and “accession” mean in each case the
international act so named whereby a State establishes on the
international plane its consent to be bound by a treaty.”
B. Adanya
suksesi terhadap suatu negara tidak mengakibatkan berakhirnya suatu
perjanjian selama negara pengganti tetap menyetujui untuk meneruskan
perjanjian tersebut. Ketentuan tentang hal tersebut terdapat pada pasal
73 Konvensi Wina 1969 yang berbunyi “The
provisions of the present Convention shall not prejudge any question
that may arise in regard to a treaty from a succession of States or from
the international responsibility of a State or from the outbreak of
hostilities between States.” dan pada pasal 20 UU No. 24 tahun 2000 yang berbunyi “Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama Negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar